Cinta Mangga Gedong Chapter 3 : Melepasmu

Senin, Februari 23, 2015

Chapter 3
Melepasmu


Hari ke-enam libur natal dan tahun baru. Besok aku harus kembali lagi ke Karawang untuk kembali menjalani rutinitas harianku sebagai buruh di salah satu perusahaan otomotif. Liburan kali ini adalah liburan tersuram yang aku lalui. Ya, ini salahku sendiri karena terlalu membenamkan diri pada keterpurukan ini.
Aku harus bisa seperti Nana. Dia seorang wanita namun dia mampu. Aku penasaran berapa banyak airmata yang telah ia habiskan sehingga ia bisa sampai pada titik sekarang ini. Mampu tersenyum, tertawa dan membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sungguh Nana adalah wanita yang kuat.

***

Kuhabiskan hari terakhirku di sini dengan menikmati senja di Pantai Widuri. Pantai kebanggaan kota kami. Pantai Widuri, pantai yang menjadi saksi kesetiaan seorang istri terhadap suaminya. Konon sepasang kekasih yang memadu janji di Pantai Widuri akan menjadi pasangan yang setia sampai tua.
Dulu aku dan Dian sering menghabiskan waktu berdua di sini. Bercengkrama dan membicarakan apa saja yang terlintas di pikiran kami. Mengingat lagi saat-saat itu jari telunjukku terasa nyeri. Ada satu kebiasaan Dian yang aneh, Dian suka sekali menggigiti jari telunjukku. Meski aneh namun aku sangat menyukai kebiasannya itu. Gigitan-gigitan kecilnya memberikan sensasi tersendiri bagiku. Terlalu banyak kenangan indah bersamamu, Dian. Sanggupkah aku melupakanmu?
Kuedarkan pandangan ke bibir pantai. Kupandangi deburan ombak yang menyapu pasir dengan lembut dari kursi angkringan ini. Sepiring mendoan dan segelas teh manis yang menemaniku mulai dingin.
Bak tersengat listrik, bulu kuduk dan rambutku berdiri ketika ada suara lembut memanggil namaku.
“Ran…”
Aku menoleh.
Aku mengenal dengan sangat baik siapa yang memanggil dan membuyarkan lamunanku itu. Tanpa pernah kusadari kedatangannya Dian telah duduk tepat di sampingku.
“Sejak kapan kamu disini?” tanyaku tanpa memandangnya.
“Sejak tadi.”
“Darimana kamu tahu aku disini?” tanyaku kembali.
“Dari Mbak Ria. Tadi Dian ke rumahmu karena tahu kamu pulang. Tapi Mbak Ria bilang kamu ada disini” Aku hanya mengangguk untuk menanggapi jawabannya.
“Waktu itu kenapa kamu tidak menyapa Dian?”
Aku tersentak akan pertanyaannya. Ya, mungkin memang salahku waktu aku tiba di kota ini tak menyapa Dian saat perjalanan pulang ke rumah. Aku terus saja melajukan motorku dan berpura-pura tak melihat saat berpapasan dengannya, kuharap dia tak mengenaliku saat itu. Namun, ternyata sia-sia, dia tetap bisa mengenaliku.
“Dimana?” aku berkelit.
“Ah, sudahlah, itu tidak penting lagi,” Dian tahu aku berbohong dan tidak ingin memperpanjang masalah tersebut. “Dian hanya ingin memberitahu sesuatu. Kuharap kamu bisa mengerti, Ran. Seiring berjalannya waktu kamu pasti bisa melupakan Dian. Kita masih bisa menjadi teman seperti dulu.”
“Tak mungkin, An..” sanggahku.
“Apanya yang tak mungkin? Kamu belum mencoba, Ran.”
“Apa kamu bisa jika kamu ada di posisiku sekarang?” bantahku dengan nada yang sedikit tinggi.
Dian terdiam. Dia menundukkan kepalanya. Kulihat air mata hampir menetes dari matanya. Oh, Tuhan. Bukan maksudku ingin melukai orang yang kucintai ini.
Dan kami terdiam.
Sudah 5 menit kami berada dalam keheningan. Kuberanikan diri untuk bicara lagi.
“Dulu, kamu bilang kamu akan mengejar mimpi-mimpimu. Menyelesaikan kuliah. Mendapatkan pekerjaan yang kamu impikan. Bahkan,kamu memintaku untuk kuliah agar pendidikan kita setara. Kamu bilang tak akan menikah sebelum impianmu terwujud. Jujur, aku sangat senang sekali saat mendengarnya. Itu artinya masih ada banyak waktu untukku menyiapkan diri untuk menjadi lelaki yang terbaik bagimu. Tapi, semua keyakinanku runtuh hanya dalam hitungan menit.”
Aku menghela nafas dalam.
Dian terus saja menunduk. Mungkin dia mencoba menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Atau dia tidak mampu untuk menatapku. Entahlah.
“Lalu sekarang kamu datang dan memintaku untuk melakukan hal yang sangat sulit untuk kulakukan” lanjutku.
“Lalu mau kamu apa, Ran?”
Dian mengangkat kepalanya, menatapku. Pipinya sudah basah karena air mata.
“Belum terlambat, Dian. Kita masih bisa mengubah keadaan ini.” pintaku.
“Ran, apa kamu lupa dengan apa yang Dian katakan malam itu?”
Aku terdiam. Mencoba menguasai diriku lagi.
“Ran, aku mohon...” Dian memelas.
“Pulanglah, An. Biarkan aku sendiri. Tak enak membiarkan Mas Wahyu menunggu terlalu lama disana.” sergahku.
Dari awal Dian datang aku tahu dia bersama Mas Wahyu. Dia duduk diatas motornya yang diparkir cukup jauh dari kami.
Dian bangkit dari duduknya. Ia menyeka matanya yang basah.
“Ran, Dian yakin kamu bisa melepaskan tanpa harus kehilangan Dian. Kita masih bisa menjadi teman seperti dulu.”
Hah! Melepaskan tanpa harus kehilangan. Bualan klasik!
Dian meninggalkanku lantas pergi bersama Mas Wahyu.
Pandanganku kembali menyapu pantai. Deburan ombak yang pelan masih setia menemui pasir di tepian pantai. Langit semakin menjingga. Senja telah usai.
Bersama malam yang menjelang, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku harus mulai merelakan. Aku harus mulai melangkah. Aku harus bisa.

***

Share this :

Previous
Next Post »
3 Komentar
avatar

Makin asyik ceritanya. Penasaran sama kelanjutannya. Keep it up!

Balas
avatar

Jiaaah tdinya gw udh seneng krn si dian nyamperin ke pantai?ehhhg taunya dia datang hanya membawa luka bukan si iman,eh si ran

Suka bgt sm kalimat di paragraf 2 yg ttg nana.. Keren kalimatnya.

Balas
avatar

@Nuel : Tapinya gue masih tergantung mood nih hahaha
@Risah : Jiaaah, huss huss jangan disebut. Yah, kira-kira berapa airmata agar bisa diposisis seprti nana ca? :D

Balas

Ayo Komentar!
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • © 2015 Teguh Budi Santoso ✔