Cinta Mangga Gedong Chapter 4 : Hujan

Jumat, Maret 06, 2015

Chapter 4
Hujan

Cinta adalah kehilangan. Kalimat itu yang meluncur dari bibir Nana. Awalnya aku sulit mencerna maksud dari kalimat tersebut sampai aku pada kondisi aku sadar bahwa aku hanyalah raga kosong tanpa Dian. Harusnya aku sadar bahwa saat aku membiarkan benih cinta ini tumbuh saat itu pula aku harus menyiapkan diri untuk kehilangan Dian.
Aku tahu cerita ini akan berbeda andai saja aku memiliki sedikit keberanian. Namun aku terlalu pengecut. Aku terlalu penakut untuk menghadapi sesuatu yang belum tentu akan terjadi. Sekarang semua sudah terlambat. Dian sudah menerima orang lain sebagai kekasihnya.
Sebenarnya hal ini bukanlah yang pertama kalinya. Dian sudah pernah mempunyai pacar sebelumnya. Tetapi saat itu perasaanku biasa saja. Tidak seperti sekarang ini. Saat itu Dian berpacaran dengan temanku. Aku tidak merasakan perasaan cemburu atau marah. Karena aku tahu saat itu Dian hanya main-main. Dian hanya ingin menunjukkan kepadaku kalau dia juga bisa punya pacar. Dian ingin mematahkan tuduhanku yang suka meledek dia tidak akan mendapatkan pacar. Pada akhirnya dugaanku benar, selang beberapa minggu Dian putus dengan pacarnya. Aku sangat bersorak bahagia saat itu meski aku tidak pernah merasakan cemburu. Atau sebenarnya ada sedikit cemburu yang tidak aku sadari. Entahlah.
Cinta adalah penerimaan. Lagi. Kata-kata Nana melecutku. Dia membuatku sadar untuk bangkit dari keterpurukan patah hati. Ikhlas. Ikhlas adalah kuncinya. Kata Mbak Ria dan suaminya. Aku harus menerima dengan ikhlas. Apapun yang akan aku perbuat tidak akan memutar kembali waktu. Tidak akan ada keajaiban untuk seorang pengecut sepertiku.
Aku telah memutuskan untuk melangkah memulai membuka lembaran baru. Aku tahu tidak akan mudah. Aku akan berusaha. Teorinya demikian. Namun pada prakteknya aku sangat kewalahan. Aku sangat kesulitan. Semakin aku mencoba melupakan, semakin banyak pula kenangan-kenangan yang timbul ke permukaan.
Aku bisa gila!
Januari, bulan dimana hujan turun hampir setiap hari. Ini yang tidak aku suka. Hujan memberi cukup banyak kontribusi dalam membuatku sulit melupakan Dian. Karena hujan tanah menjadi basah. Kenangan-kenangan yang aku kubur malah menjelma tumbuh menjadi pohon kenangan. Tiap kali kupangkas dahan-dahannya agar tidak menjadi rindang, dengan segera dahan yang lain akan tumbuh menggantikannya. Bukan hanya satu tetapi banyak. Dalam sekejap pohon kenangan itu telah menjadi pohon yang besar dan rindang.
Aku menatap keluar jendela dari dalam bus karyawan dalam perjalanan pulang. Kacanya basah dan mengembun karena hujan lebat yang mengguyur sejak shubuh tadi membuat pemandangan di luar menjadi kabur. Namun apa peduliku. Toh aku tidak sedang benar-benar melihat keluar. Pikiranku jauh berkelana menyelami masa lalu. Semakin dalam. Dalam. Sampai aku tak sadar kalau aku sudah tenggelam.

***

Aku mengayuh sepedaku semakin kencang. Awan mendung yang sedari tadi menggantung telah turun menjadi butiran-butiran gerimis. Awalnya kecil-kecil lalu kemudian menjadi besar-besar. Rasanya-rasanya kepalaku seperti dihantaman ribuan jarum. Sakit.
“Tenangnya…” Dian berguman ketika aroma tanah bercampur air hujan menyeruak masuk ke dalam lubang hidungnya. Aku mengernyitkan dahi tak mengerti. Kehujanan dan dia bilang tenang. Apa yang ada dipikiran gadis yang duduk di boncengan itu?
“Ran, coba kamu hirup aroma hujan ini. Sungguh menenangkan, bukan?”
“Aroma hujan apa? Maksudmu bau debu campur hujan ini? Mana mungkin bisa menenangkan.” jawabku asal-asalan.
“Ih, dasar, makanya punya hidung jangan buat mengendus bau kaki saja.”
Dian sebal dengan jawabanku yang asal-asalan itu.
“Kita berteduh saja di emperan toko depan itu saja sambil menunggu hujan reda.” tawarku pada Dian. Aku takut karena hujan-hujanan dia jadi sakit.
“Ga usah, Ran. Kita jalan saja. Ini kan hujan pertama. Dian ingin hujan-hujanan.”
“Kalau kamu sakit aku tidak mau bertanggung jawab.”
“Siapa juga yang minta tanggung jawab. Sudah jalan saja terus tidak usah berteduh, ya, ya.” Dian memutuskan seenaknya sendiri.
“Kamu tidak malu, kita memakai seragam putih abu-abu tapi masih hujan-hujanan kayak anak kecil?”
“Tidak apa-apa Ran, sesekali kembali bertingkah menjadi anak kecil.”
Akhirnya aku menuruti kemauan Dian. Aku terus mengayuh sepedaku. Butiran gerimis yang tadi besar-besar dan membuat kepalaku sakit kini sudah berubah menjadi hujan deras. Aku yakin saat ini Dian sedang tersenyum bahagia menikmati hujan yang turun pertama kali ini. Hujan yang sebagai tanda berakhirnya musim yang kering dan berganti dengan musim yang basah.
Aku mengayuh sepedaku dengan Dian yang membonceng di belakang menembus hujan. Tangan mungil Dian mendekap pinggangku erat. Dingin udara dan basahnya hujan membuat Dian semakin erat mendekap pinggangku. Hangat. Aku merasakan kehangatan di tengah kedinginan hujan ini. Aroma hujan yang dimaksud Dian akhirnya menyeruak masuk ke dalam hidungku. Ya, aroma ini sangat menenangkan.
Saat ini yang aku inginkan adalah perjalanan pulang sekolah tak segera berakhir. Jadi aku memilih memutar jalan pulang. Aku ingin menikmati hujan ini bersama Dian. Aku memperlambat kayuhan. Aku tidak mempedulikan lagi bahwa bisa saja dari kami akan jatuh sakit.
“Ran berhenti sebentar.” Pinta Dian.
Aku menurutinya tanpa tahu apa yang ada di benak Dian. Begitu aku menghentikan sepedaku Dian langsung turun dari boncengan sepeda dan berlari ke pematang sawah. Dian berlari dengan riang. Dian berhenti di tengah persawahan. Ia angkat kedua tangan dan wajahnya. Dian benar-benar menikmati hujan. Aku hanya terperangah melihat kelakuannya itu. Sungguh saat itu Dian begitu sangat mempesona.
Setelah beberapa saat tertegun mengagumi Dian aku tersadar. Benar. Tidak ada salahnya sesekali kembali bertingkah seperti anak kecil. Aku jatuhkan sepedaku dan mengejar Dian. Berlari di pematang sawah. Kami saling berkejaran bermandikan hujan. Tak mempedulikan sepatu kami yang penuh dengan tanah. Tak peduli buku-buku kami yang mungkin sudah basah di dalam tas. Tak peduli sepeda yang aku jatuhkan pasrah di pinggir jalan. Tak peduli dengan tubuh yang mulai menggigil. Kami benar-benar seperti anak kecil yang menyambut hujan dengan suka cita.
Kami duduk sebentar di gubug yang ada di persawahan itu setelah puas berkejar-kejaran sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang. Dalam waktu yang sebentar itu aku terus saja menatap ke arah Dian yang sedang asyik menyaksikan air hujan yang jatuh menimpa daun-daun padi. Dian begitu khidmat tanpa menyadari aku tak berkedip sedikitpun menatapnya.
“Jangan sakit ya, Dian.” pintaku dalam hati ketika melihatnya masuk ke dalam rumah.

***

Lamunanku buyar ketika seorang teman menyikut perutku memberi tanda aku telah sampai. Bus karyawan yang aku naiki berhenti di perempatan Teluk Jambe. Aku segera turun dan bergegas lari masuk ke dalam angkot untuk menghindari hujan. Biasanya jika tidak hujan aku jalan kaki karena jarak kosanku tidak begitu jauh dari perempatan teluk jambe. Hitung-hitung olahraga. Aku tidak selalu menggunakan bus, lebih sering menggunakan motor untuk berangkat kerja. Tetapi dikarenakan sekarang adalah musim hujan mau tidak mau aku lebih memilih menggunakan bus.
Hujan tinggal menyisakan gerimis. Aku berjalan setengah berlari menuju kosanku. Aku berhenti sebentar untuk mengisi pulsa di counter milik ibu kos. Niatnya ingin beli pulsa malah dapat bonus rambutan satu ikat. Dengan malu-malu aku menerimanya dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Lumayan buat cemilan. Mudah-mudahan rambutan dari ibu kos ini bisa menjadi teman mengusir galau.
Aku membuka pintu kamar kosku. Menaruh rambutan di atas lemari lalu mengganti baju dan mencuci muka dan bersiap untuk tidur. Kantuk setelah bekerja semalaman sudah tidak tertahan lagi. Semoga aku tidak memimpikan Dian.

***

Share this :

Previous
Next Post »
4 Komentar
avatar

Dian sangat berarti banget yak berarti. Sedih gue bacanya.

Btw gue minjem nama lu ya di cerpen ini. :p

Balas
avatar

http://www.immanuels-notes.blogspot.com/2015/03/one-story-one-photo-fans-dan-cinta.html

Balas
avatar

Bagus, Kak. Judulnya juga catchy. Keep it up!

Balas

Ayo Komentar!
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • © 2015 Teguh Budi Santoso ✔