Cinta Mangga Gedong Chapter 3 : Melepasmu

Senin, Februari 23, 2015 3 Comments

Chapter 3
Melepasmu


Hari ke-enam libur natal dan tahun baru. Besok aku harus kembali lagi ke Karawang untuk kembali menjalani rutinitas harianku sebagai buruh di salah satu perusahaan otomotif. Liburan kali ini adalah liburan tersuram yang aku lalui. Ya, ini salahku sendiri karena terlalu membenamkan diri pada keterpurukan ini.
Aku harus bisa seperti Nana. Dia seorang wanita namun dia mampu. Aku penasaran berapa banyak airmata yang telah ia habiskan sehingga ia bisa sampai pada titik sekarang ini. Mampu tersenyum, tertawa dan membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sungguh Nana adalah wanita yang kuat.

***

Kuhabiskan hari terakhirku di sini dengan menikmati senja di Pantai Widuri. Pantai kebanggaan kota kami. Pantai Widuri, pantai yang menjadi saksi kesetiaan seorang istri terhadap suaminya. Konon sepasang kekasih yang memadu janji di Pantai Widuri akan menjadi pasangan yang setia sampai tua.
Dulu aku dan Dian sering menghabiskan waktu berdua di sini. Bercengkrama dan membicarakan apa saja yang terlintas di pikiran kami. Mengingat lagi saat-saat itu jari telunjukku terasa nyeri. Ada satu kebiasaan Dian yang aneh, Dian suka sekali menggigiti jari telunjukku. Meski aneh namun aku sangat menyukai kebiasannya itu. Gigitan-gigitan kecilnya memberikan sensasi tersendiri bagiku. Terlalu banyak kenangan indah bersamamu, Dian. Sanggupkah aku melupakanmu?
Kuedarkan pandangan ke bibir pantai. Kupandangi deburan ombak yang menyapu pasir dengan lembut dari kursi angkringan ini. Sepiring mendoan dan segelas teh manis yang menemaniku mulai dingin.
Bak tersengat listrik, bulu kuduk dan rambutku berdiri ketika ada suara lembut memanggil namaku.
“Ran…”
Aku menoleh.
Aku mengenal dengan sangat baik siapa yang memanggil dan membuyarkan lamunanku itu. Tanpa pernah kusadari kedatangannya Dian telah duduk tepat di sampingku.
“Sejak kapan kamu disini?” tanyaku tanpa memandangnya.
“Sejak tadi.”
“Darimana kamu tahu aku disini?” tanyaku kembali.
“Dari Mbak Ria. Tadi Dian ke rumahmu karena tahu kamu pulang. Tapi Mbak Ria bilang kamu ada disini” Aku hanya mengangguk untuk menanggapi jawabannya.
“Waktu itu kenapa kamu tidak menyapa Dian?”
Aku tersentak akan pertanyaannya. Ya, mungkin memang salahku waktu aku tiba di kota ini tak menyapa Dian saat perjalanan pulang ke rumah. Aku terus saja melajukan motorku dan berpura-pura tak melihat saat berpapasan dengannya, kuharap dia tak mengenaliku saat itu. Namun, ternyata sia-sia, dia tetap bisa mengenaliku.
“Dimana?” aku berkelit.
“Ah, sudahlah, itu tidak penting lagi,” Dian tahu aku berbohong dan tidak ingin memperpanjang masalah tersebut. “Dian hanya ingin memberitahu sesuatu. Kuharap kamu bisa mengerti, Ran. Seiring berjalannya waktu kamu pasti bisa melupakan Dian. Kita masih bisa menjadi teman seperti dulu.”
“Tak mungkin, An..” sanggahku.
“Apanya yang tak mungkin? Kamu belum mencoba, Ran.”
“Apa kamu bisa jika kamu ada di posisiku sekarang?” bantahku dengan nada yang sedikit tinggi.
Dian terdiam. Dia menundukkan kepalanya. Kulihat air mata hampir menetes dari matanya. Oh, Tuhan. Bukan maksudku ingin melukai orang yang kucintai ini.
Dan kami terdiam.
Sudah 5 menit kami berada dalam keheningan. Kuberanikan diri untuk bicara lagi.
“Dulu, kamu bilang kamu akan mengejar mimpi-mimpimu. Menyelesaikan kuliah. Mendapatkan pekerjaan yang kamu impikan. Bahkan,kamu memintaku untuk kuliah agar pendidikan kita setara. Kamu bilang tak akan menikah sebelum impianmu terwujud. Jujur, aku sangat senang sekali saat mendengarnya. Itu artinya masih ada banyak waktu untukku menyiapkan diri untuk menjadi lelaki yang terbaik bagimu. Tapi, semua keyakinanku runtuh hanya dalam hitungan menit.”
Aku menghela nafas dalam.
Dian terus saja menunduk. Mungkin dia mencoba menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Atau dia tidak mampu untuk menatapku. Entahlah.
“Lalu sekarang kamu datang dan memintaku untuk melakukan hal yang sangat sulit untuk kulakukan” lanjutku.
“Lalu mau kamu apa, Ran?”
Dian mengangkat kepalanya, menatapku. Pipinya sudah basah karena air mata.
“Belum terlambat, Dian. Kita masih bisa mengubah keadaan ini.” pintaku.
“Ran, apa kamu lupa dengan apa yang Dian katakan malam itu?”
Aku terdiam. Mencoba menguasai diriku lagi.
“Ran, aku mohon...” Dian memelas.
“Pulanglah, An. Biarkan aku sendiri. Tak enak membiarkan Mas Wahyu menunggu terlalu lama disana.” sergahku.
Dari awal Dian datang aku tahu dia bersama Mas Wahyu. Dia duduk diatas motornya yang diparkir cukup jauh dari kami.
Dian bangkit dari duduknya. Ia menyeka matanya yang basah.
“Ran, Dian yakin kamu bisa melepaskan tanpa harus kehilangan Dian. Kita masih bisa menjadi teman seperti dulu.”
Hah! Melepaskan tanpa harus kehilangan. Bualan klasik!
Dian meninggalkanku lantas pergi bersama Mas Wahyu.
Pandanganku kembali menyapu pantai. Deburan ombak yang pelan masih setia menemui pasir di tepian pantai. Langit semakin menjingga. Senja telah usai.
Bersama malam yang menjelang, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku harus mulai merelakan. Aku harus mulai melangkah. Aku harus bisa.

***

Kucing Dalam Lipatan

Minggu, Februari 08, 2015 2 Comments

Kucing datang ke kandang bebek setelah membaca status bebek yang memenuhi beranda facebooknya. Kucing berniat mencegah bebek melakukan hal nekat. Bagaimanapun bebek adalah sahabat terbaiknya terlepas dari sifat alay yang dimiliki bebek.
Sudah hal biasa kucing mendapati beranda facebooknya penuh dengan status alay bebek dan ayam. Sudah menjadi rahasia umum kisah cinta ayam dan bebek yang sering putus nyambung. Bentar-bentar berantem update status, bentar-bentar baikan update status. Begitu terus setiap harinya selama hampir 3 tahun ini.
Kisah cinta bebek dan ayam adalah kisah cinta paling fenomenal di peternakan. Disamping kisah cinta terlarang mereka yang tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua ayam juga karena mereka terlalu menggembar-gemborkan hubungan mereka yang katanya setegar karang, yang katanya cinta sejati, yang katanya pasangan yang telah ditakdirkan Tuhan ke seluruh penjuru peternakan maupun di facebook. Nyatanya mereka hanya membuat geli seisi peternakan dan dunia maya saja. Marahan dikit langsung update status. Kangen dikit update status. Baikan update status. Terlihat sekali mereka sama-sama belum dewasa dalam menyikapi suatu hubungan.
Sudah bukan barang baru membaca status bebek sebagai bebek paling menderita di dunia. Namun kali ini berbeda. Bebek tidak pernah sebelumnya membuat status seperti itu. Mengakhiri hidup untuk cinta. Konyol sekali. Ini pasti masalahnya sudah serius. Bebek mungkin terlalu banyak mendapat tekanan. Bebek mungkin sudah mencapai titik putus asa. Itulah sebabnya kucing buru-buru pergi ke kandang bebek.
Untunglah hal buruk yang dikhawatirkan kucing belum terjadi. Dengan nafas tersengal-sengal kucing menghampiri bebek yang sedang duduk di pojokan kandang. Mata bebek terus saja menatap golok yang terselip dipagar.
“Kali ini apalagi?” Tanya kucing setelah berhasil mengatur nafasnya. Dia duduk tepat di samping bebek.
Bebek tetep diam bergeming. Matanya berkaca-kaca dan terus saja menatap golok. Dalam hati bebek masih ragu dengan keinginannya untuk bunuh diri.
“Bunuh diri bukan solusi. Iya elo mati enak. Ga ada yang elo khawatirkan lagi. Bagaimana dengan Ayam? Setelah elo mati, ayam akan dihantui rasa bersalah yang sangat dalam. Ayam akan jatuh ke lembah gelap penyesalan yang tidak berdasar. Disamping itu dia akan mendapatkan hukuman sosial. Seluruh peternakan pasti akan menyalahkan ayam. Bukan gue belain ayam. Sekarang gue tanya apa elo tega kalau orang yang elo cintai berakhir seperti itu?” Cerocos kucing panjang lebar.
“Jangan diam aja. Sebagai sahabat elo, gue gak mau elo kayak gini. Elo itu cowok. Yang kuat dong. Jangan cemen kayak gini.” Kucing lama-lama sewot juga dicuekin bebek.
“Cing,” bebek membuka suara setelah dari tadi hanya diam membisu.”Apa yang kurang dari gue? Gue sudah memberikan sepenuhnya yang terbaik buat dia. Tetapi dia malah mencampakkan gue tanpa sebab yang jelas. Gue ga tahu lagi apa yang harus gue perbuat agar dia mau kembali sama gue?”
“Bek, cinta itu tidak boleh memaksa. Mungkin ayam butuh waktu untuk sendiri. Biarkan dia berpikir jernih. Mungkin dia dalam kondisi emosi waktu memutuskan elo.”
“Cing, untuk apa gue hidup kalau ayam sudah mencampakkan gue. Gue hanya sampah.” Keluh bebek.
“Jangan berkata seperti itu. Pokoknya sekarang elu jauhi pikiran-pikiran buruk. Jangan nekat. Gue yakin besok pasti akan lebih baik dari hari ini.”
Bebek kembali menatap kosong ke arah golok yang terselip di pagar.
“Bek, gue pulang dulu, sudah mau maghrib. Tetap semangat. Tunjukkan kamu bebek yang kuat. Agar ayam bisa kembali lagi ke pelukanmu. Ok?”
Bebek tetap diam. Entah dia mendengarkan kucing atau tidak.
“Yaudah gue pulang dulu. Berpikirlah dengan jernih. Gue tahu lu butuh waktu sendiri, nasihat saat ini mungkin hanya masuk lewat kuping kanan, keluar lewat kuping kiri untuk elo. Gue dateng kesini cuma mau kasih tahu elo, kalau gue selalu ada untuk elo. Sekali lagi, jangan nekat!” Kucing memberikan pesan-pesan terakhir sebelum meninggalkan kandang bebek.
Kucing meninggalkan kandang bebek. Dia sengaja memutar arah pulang ke rumah pemilik peternakan agar melewati kandang ayam.
Ayam telah berdiri di depan kandangnya ketika kucing sampai di depan kandang ayam. Kucing menghampiri ayam.
“Bagaimana?” sambut ayam dengan tidak sabar.
“Ay, setelah abang pikir,” kucing diam sejenak. Ia tak yakin dengan apa yang akan ia sampaikan.” Abang minta kamu kembali ke bebek. Abang tidak tega melihat bebek seperti itu.”
Ayam kaget dengan kata-kata kucing.
“Abang gimana sih, abang kan yang meminta aku untuk mutusin bebek. Abang sudah tidak cinta lagi sama aku?”
Ayam sewot. Plin plan banget kucing. Pikir ayam. 
“Ay, abang memang mencintaimu, tapi abang juga sayang sama sahabat abang, abang tidak tega melihat dia menderita.”
“Lalu bagaimana dengan kebahagian aku. Bagaimana dengan kebahagian abang? Abang lebih suka melihat aku menderita bersama bebek?” Ayam tidak terima dengan alasan kucing.
“Bukan begitu, Ay. Abang bahagia jika kamu bahagia. Abang yakin kamu dan bebek akan bisa bahagia lagi seperti dulu. Sebelum abang datang diantara kalian.”
“Bang, aku bahagia bila bersama abang. Bebek hanya bagian dari masa lalu. Sekarang cuma abang yang aku cinta.”
“Ay, abang mohon. Kembalilah pada bebek…” Kucing terus memohon.
“Bang, kamu hanya mempermainkan aku.” Ayam merasa kucing hanya mempermainkan dia. Tidak pernah bersungguh-sungguh selama ini.
“Ay, jangan salah paham. Abang sangat-sangat mencintaimu.”
“Lalu kenapa, bang? Kenapa abang meminta aku kembali pada bebek?” Ayam tidak tahan lagi.
“Karena abang tidak tega melihat sahabat abang seperti itu. Jadi abang mohon pada kamu.”
“Baik… Aku akan melakukan apa mau abang. Aku akan kembali pada bebek, asalkan abang memenuhi satu permintaanku?”
“Apapun yang kamu inginkan akan abang penuhi. Abang janji.”
“Aku akan kembali ke bebek, asalkan abang masih tetap bersamaku.”
Kucing terdiam. Dia dihadapkan pada sebuah dilema. Menuruti perasaannya. Menjaga perasaan sahabatnya. Atau menjaga perasaan ayam yang ia cinta.

***

Cinta Mangga Gedong Chapter 2 : Awal Baru

Sabtu, Februari 07, 2015 1 Comment

Chapter 2
Awal Baru


Ada sedikit rasa sesal ketika aku kembali ke sini, ke Pemalang. Rasanya aku ingin cepat-cepat kembali ke kota rantauku, Karawang. Padahal malam itu setelah berbicara dengan Dian di telepon aku ingin segera pulang. Nyatanya hatiku belum siap dan mungkin tidak akan sanggup jika harus melihat Dian berjalan bergandengan dengan lelaki lain. Aku hanya berharap tidak melihatnya selama aku di sini sehingga tidak ada luka baru yang tertoreh karena kebodohanku.
Aku butuh udara segar!
Tiga hari sudah aku mengurung diri di kamarku. Aku tidak berani jika harus keluar rumah, tidak berani jika harus melihat Dian. Akan seperti apa sikapnya sekarang jika bertemu denganku. Ah, tidak. Bukan, akan seperti apa sikapku sekarang jika bertemu dengannya?

***

Entah darimana datangnya keberanian ini. Aku beranikan diriku untuk keluar kamar dan bahkan aku berani untuk keluar rumah. Langkahku terhenti tepat di depan gerbang SMPku dulu karena perhatianku tertarik kepada seorang wanita yang sepertinya kukenal.
“Nana!” teriakku.
Dia menoleh, mengernyitkan dahi, seolah sedang mengingat siapa yang memanggilnya. Dia berjalan menghampiriku.
“Zahran, kah?” tanyanya sambil memandangiku heran.
“Iya! Kamu Nana, kan? Yang dulu tomboy?” jawabku sembari bertanya balik.
“Iya! Kukira kamu sudah lupa?”
Nana menyunggingkan senyum. Senyum yang sangat manis.
“Kamu beda sekarang. Aku pangling.”
Aku menatap Nana dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku benar-benar pangling. Nana yang dulu tomboy sekarang menjadi seorang wanita yang cantik. Rambutnya yang dulu selalu ia kuncir kuda kini ia biarkan tergerai. Kacamata bertengger di hidungnya yang bangir menambah kesan manis dan pintar. Ah, aku sulit percaya kalau wanita cantik yang berdiri di depanku ini adalah Nana, gadis tomboy teman sekelasku saat duduk di bangku kelas 3 SMP.
Mengingat kembali saat SMP dulu, Nana adalah anak yang mempunyai sifat supel. Dia bisa berteman dengan siapa saja. Dia bukan tipe orang yang pilah-pilih teman. Berbeda dengan anak-anak perempuan lainnya yang kukenal lebih suka berkumpul dengan kelompoknya masing-masing.
“Hihi.. Aku cantik, kan, sekarang?” tanyanya menggoda.
“Iya, kamu sudah berubah, ya?” jawabku dengan masih memasang wajah tak percaya.
“Begitulah seharusnya…” timpalnya sembari matanya menatap menyelidik ke arahku.
“Eh?”
Nana tertawa lirih memamerkan sederet gigi putihnya yang rapi dan terawat.
“Manusia memang harus berubah, Ran.” tukasnya.
Nana melanjutkan perjalanannya, kemudian aku mengiringi langkahnya sampai kami berhenti dan duduk berdampingan di bangku depan rumah Nana.
Aku yang penasaran dengan kalimat terakhir Nana tadi lantas bertanya.
“Kamu tahu, Na?”
“Ya. Kamu sedang patah hati, kan?”
“Darimana kamu tahu?” tanyaku heran. Tak mungkin kawanku ini sekarang jadi peramal.
“Ran. Kamu bisa berbohong dan menutupi perasaanmu. Tapi matamu tidak. Mata selalu lebih jujur.” jawabnya cepat.
“...”
Belum sempat aku berkata, dia tertawa lirih.
“Kenapa? Kamu senang lihat aku menderita?” tanyaku
“Bukan. Kamu lucu, Ran. Semua hal pasti ada resikonya. Kamu jatuh cinta dan tidak siap akan resiko dari jatuh cinta itu sendiri.”
Jleb!
Aku tertegun. Kata-kata Nana tepat menusuk jantungku.
Aku mengurungkan niat untuk bertanya kembali saat aku menyadari kata-katanya. Saat yang sama kulihat mata Nana menerawang. Aku rasa Nana pernah mengalami apa yang sedang kualami saat ini.
“Kamu tahu, Ran. Saat kita jatuh cinta kepada seseorang, saat itu pula kita telah kehilangan sesuatu dari dalam diri kita. Kewarasan, hati dan jiwa kita ikut bersama orang yang kita cintai. Sederhananya, kita hanya ‘raga’ saat kita jatuh cinta. Dan saat orang itu pergi, hanya ‘raga’ yang tersisa dan kita menjadi ‘raga’ yang kosong.”
Kata-kata Nana membuatku sadar. Dia memang sama sepertiku, pernah jatuh cinta dan sakit hati. Bedanya, dia mampu melewati masa sakit hati itu.
“Kita hanya harus menerima, Ran. Sampai ada orang lain yang datang memberikan hati dan jiwanya untuk kita.”
Kalimat pemungkas dari Nana membuatku paham. Yang harus kulakukan sekarang adalah belajar menerima. Mungkin dengan menerima apa yang sudah terjadi kepadaku, dengan perlahan aku bisa melupakan Dian dan menemukan penggantinya. Tapi, akankah semudah itu?

***

Big Thanks to Monyetkertas

#jlebmomentsakitnyatuhdisini

Sabtu, Februari 07, 2015 2 Comments

Ketika instruktur tidak bisa masuk karena suatu sebab, disinilah peran asisten instruktur menggantikan instruktur mengajar di depan kelas. Rasanya yah menyenangkan punya kesempatan. Bisa mengajar di depan. Menyampaikan materi yang sudah saya pelajari dan pahami agar mereka juga mengerti.

Setelah membahas beberapa point tak lupa saya menanyakan apakah mereka mengerti dengan apa yang saya sampaikan yang langsung disambut koor kompak “Ya, Kak”. Kemudian saya menjelaskan lagi dan menanyakan ada kesulitan atau enggak yang disambut koor kompak dari mereka “Tidak ada, Kak”. Aah senangnya jika mereka paham dan mengerti. Ketika saya tanyakan apakah ada yang ingin ditanyakan, iya, ada sebagian mereka yang bertanya dan itu artinya mereka memperhatikan ketika saya mengajar. Saya jawab pertanyaannya sampai yang bertanya paham. Kemudian sebelum perkuliahan diakhiri tak lupa saya kembali bertanya “Ada yang kurang paham atau tidak dimengerti? Ada yang ingin ditanyakan tentang materi hari ini?. Dan seperti sebelumnya mereka menjawab dengan koor kompak “Tidak ada, Kak”. Wah senengnya jika mereka mengerti apa yang saya sampaikan.

Namun, dipertemuan selanjutnya ketika instruktur masuk dan menanyakan materi pertemuan sebelumnya, apakah mereka mengerti dengan materi sebelumnya yang asisten sampaikan. Sebagian diam dan beberapa yang lain menjawab “Tidak mengerti, Bu”. Lalu instruktur menanyakan poin-poin pembahasan materi sebelumnya dan mereka tidak bisa menjawab.

 #jlebmomentsakitnyatuhdisini 
 IYA
 #jlebmomentsakitnyatuhdisini

Cermin

Sabtu, Februari 07, 2015 Add Comment
Cermin
“Setiap malam ku menunggumu disini namun kau tak pernah datang,” keluhku.
Kau tersenyum manis sekali tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
“Kemana saja kau selama ini?” todongku lagi namun kau hanya tersenyum.
Kau sungguh membuatku kesal. Lama menghilang sekalinya muncul cuma cengengesan. Kuberondong kau dengan pertanyaan layaknya seorang polisi yang sedang menginterogasi pelaku kejahatan. Akan tetapi kau menjawabnya dengan senyuman paling manismu itu. Kau tidak berubah jadi bisu atau tuli kan selama menghilang?
Huh percuma aku ngomong denganmu. Kuambil kursi dan ku pukulkan ke singgasanamu. Cermin itu pecah dan kau pun menghilang menjadi puing-puing bayanganku dalam kaca.
Kekasihku pergi untuk selamanya.

Anjing

Sabtu, Februari 07, 2015 2 Comments
Anjing
“Tolong !” Perempuan genit itu berteriak meminta tolong. Tangannya meraih-raih benda yang dapat dijangkaunya dan melemparkannya ke arahku. Dasar bodoh. Melempar barang saja tak becus. Tak ada satu pun yang mengenaiku. Perempuan tak berguna sepertimu ingin menjadi istri orang yang ku cintai. Jangan bermimpi. Takkan ku biarkan kau menemuinya lagi.
“Aku calon istri mas Alwi. Kalau dia tahu kau berusaha menyerangku, kau pasti akan dibuang ke jalanan!” Umpatnya dengan suara yang ngos-ngosan karena dari tadi berlari menghindariku. Aku tak peduli dengan ocehannya. Tak boleh ada perempuan lain yang mendekati Alwi, majikan yang sangat ku cintai itu.
"Dasar ANJING KAMPUNG gila!" maki perempuan itu sambil berlari keluar rumah.

*Terima kasih untuk Dokter Gigi Gaul atas saran dan revisinya (^_^)

Bebek Patah Hati

Jumat, Februari 06, 2015 Add Comment
Gambar dari :http://www.priasejati123.com/wp-content/uploads/2012/05/Ayam-atau-Bebek.jpg
Bebek termenung di kandangnya. Jalinan asmaranya yang dulu indah dengan ayam berakhir sudah. Akhir yang menyedihkan tanpa adanya sebuah alasan yang jelas. Bebek meratapi nasibnya yang dirasa begitu sial. Siang tadi tepat di hari ulang tahunnya ia diputuskan oleh ayam. Sorenya ia hampir dijual oleh pemilik ternak. Untung bebek bisa menyamar diantara tumpukan jerami. Masih terngiang jelas di telinga bebek kata- kata ayam tadi siang.
"Gue ... Eloo .... END!"
Semudah itukah dia mengatakan kata putus setelah 3 tahun berbagi hati bersama. Bukankah dia pernah bilang kalau bebek adalah separuh nyawanya. Meski kedua orang tua melarang namun ayam tetap mempertahankan hubungan ini. Tapi mengapa sekarang berubah. Seribu tanya bermain-main di kepala bebek.
"Denger ya gue udah ga ada lagi rasa ama elo, jadi gue minta elo jauh-jauh dari hidup gue." Katanya lagi enteng namun begitu menusuk relung hati bebek.
"Ay gue sayang banget ama elo. Elo tahu itu kan?" bebek menatap mata kekasihnya itu. Mencoba meyakinkan perasaannya."Gue ga bisa hidup sedetikpun tanpa mu Ay"
"Terserah elo mau ngomong apa. Satu yg perlu lo ingat kita sudah tidak ada hubungan lagi!." Ucap Ayam tegas. Ayam meninggalkan bebek yang terpukul.
"Ay gue sayang sama elo,"
Bebek mengejar kekasihnya. Setelah ia berhasil menjajari langkahnya ia menarik sayap ayam.
"Apa-apaan sih, lepas gak gue bilang!" Ancam ayam sembari memelototkan kedua matanya.
"Gue gak akan lepasin elo sebelum elu cabut kata-katamu barusan."
"Dewasa sedikit dong, sakit tau. Denger ya, dengan perlakuanmu seperti ini semakin meyakinkan gue kalau keputusan gue itu bener. Gue baru sadar kalau derajat kita memang berbeda."
Bebek seperti tersambar petir mendengar perkataan ayam. Cengkeramannya lepas. Ayam berlari sembari memegangi sayapnya yang sakit.
Kandang bebek seolah menjadi suram. Bebek seakan nelangsa yang teramat sangat. Inikah yang dinamakan patah hati. Lebih menyakitkan dari larangan orangtua.
Bebek mengambil bbnya. Dia memperbaharui pmnya lalu membuka facebook dan langsung mengupdate status hatinya saat ini. Dia curah kan semua unek-uneknya di facebook. Lebih dari satu status meluncur deras. Bebek merasa sedikit lega.
"Gue bener-bener ga bisa hidup tanpa elo , Ay."
Mata bebek tertuju pada golok yang diselipkan oleh pemilik peternakan di pagar kandangnya.
"Mungkinkah golok itu jawabannya?" kata bebek penuh keraguan. Matanya menuju ke arah golok lalu beralih lagi ke bb ditangannya.
Bebek mengupdate status facebooknya lagi.
"Ku akhiri hidupku untuk cintaku." Tulisnya dalam status facebook.

*****