Cinta Mangga Gedong Chapter 2 : Awal Baru

Sabtu, Februari 07, 2015

Chapter 2
Awal Baru


Ada sedikit rasa sesal ketika aku kembali ke sini, ke Pemalang. Rasanya aku ingin cepat-cepat kembali ke kota rantauku, Karawang. Padahal malam itu setelah berbicara dengan Dian di telepon aku ingin segera pulang. Nyatanya hatiku belum siap dan mungkin tidak akan sanggup jika harus melihat Dian berjalan bergandengan dengan lelaki lain. Aku hanya berharap tidak melihatnya selama aku di sini sehingga tidak ada luka baru yang tertoreh karena kebodohanku.
Aku butuh udara segar!
Tiga hari sudah aku mengurung diri di kamarku. Aku tidak berani jika harus keluar rumah, tidak berani jika harus melihat Dian. Akan seperti apa sikapnya sekarang jika bertemu denganku. Ah, tidak. Bukan, akan seperti apa sikapku sekarang jika bertemu dengannya?

***

Entah darimana datangnya keberanian ini. Aku beranikan diriku untuk keluar kamar dan bahkan aku berani untuk keluar rumah. Langkahku terhenti tepat di depan gerbang SMPku dulu karena perhatianku tertarik kepada seorang wanita yang sepertinya kukenal.
“Nana!” teriakku.
Dia menoleh, mengernyitkan dahi, seolah sedang mengingat siapa yang memanggilnya. Dia berjalan menghampiriku.
“Zahran, kah?” tanyanya sambil memandangiku heran.
“Iya! Kamu Nana, kan? Yang dulu tomboy?” jawabku sembari bertanya balik.
“Iya! Kukira kamu sudah lupa?”
Nana menyunggingkan senyum. Senyum yang sangat manis.
“Kamu beda sekarang. Aku pangling.”
Aku menatap Nana dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku benar-benar pangling. Nana yang dulu tomboy sekarang menjadi seorang wanita yang cantik. Rambutnya yang dulu selalu ia kuncir kuda kini ia biarkan tergerai. Kacamata bertengger di hidungnya yang bangir menambah kesan manis dan pintar. Ah, aku sulit percaya kalau wanita cantik yang berdiri di depanku ini adalah Nana, gadis tomboy teman sekelasku saat duduk di bangku kelas 3 SMP.
Mengingat kembali saat SMP dulu, Nana adalah anak yang mempunyai sifat supel. Dia bisa berteman dengan siapa saja. Dia bukan tipe orang yang pilah-pilih teman. Berbeda dengan anak-anak perempuan lainnya yang kukenal lebih suka berkumpul dengan kelompoknya masing-masing.
“Hihi.. Aku cantik, kan, sekarang?” tanyanya menggoda.
“Iya, kamu sudah berubah, ya?” jawabku dengan masih memasang wajah tak percaya.
“Begitulah seharusnya…” timpalnya sembari matanya menatap menyelidik ke arahku.
“Eh?”
Nana tertawa lirih memamerkan sederet gigi putihnya yang rapi dan terawat.
“Manusia memang harus berubah, Ran.” tukasnya.
Nana melanjutkan perjalanannya, kemudian aku mengiringi langkahnya sampai kami berhenti dan duduk berdampingan di bangku depan rumah Nana.
Aku yang penasaran dengan kalimat terakhir Nana tadi lantas bertanya.
“Kamu tahu, Na?”
“Ya. Kamu sedang patah hati, kan?”
“Darimana kamu tahu?” tanyaku heran. Tak mungkin kawanku ini sekarang jadi peramal.
“Ran. Kamu bisa berbohong dan menutupi perasaanmu. Tapi matamu tidak. Mata selalu lebih jujur.” jawabnya cepat.
“...”
Belum sempat aku berkata, dia tertawa lirih.
“Kenapa? Kamu senang lihat aku menderita?” tanyaku
“Bukan. Kamu lucu, Ran. Semua hal pasti ada resikonya. Kamu jatuh cinta dan tidak siap akan resiko dari jatuh cinta itu sendiri.”
Jleb!
Aku tertegun. Kata-kata Nana tepat menusuk jantungku.
Aku mengurungkan niat untuk bertanya kembali saat aku menyadari kata-katanya. Saat yang sama kulihat mata Nana menerawang. Aku rasa Nana pernah mengalami apa yang sedang kualami saat ini.
“Kamu tahu, Ran. Saat kita jatuh cinta kepada seseorang, saat itu pula kita telah kehilangan sesuatu dari dalam diri kita. Kewarasan, hati dan jiwa kita ikut bersama orang yang kita cintai. Sederhananya, kita hanya ‘raga’ saat kita jatuh cinta. Dan saat orang itu pergi, hanya ‘raga’ yang tersisa dan kita menjadi ‘raga’ yang kosong.”
Kata-kata Nana membuatku sadar. Dia memang sama sepertiku, pernah jatuh cinta dan sakit hati. Bedanya, dia mampu melewati masa sakit hati itu.
“Kita hanya harus menerima, Ran. Sampai ada orang lain yang datang memberikan hati dan jiwanya untuk kita.”
Kalimat pemungkas dari Nana membuatku paham. Yang harus kulakukan sekarang adalah belajar menerima. Mungkin dengan menerima apa yang sudah terjadi kepadaku, dengan perlahan aku bisa melupakan Dian dan menemukan penggantinya. Tapi, akankah semudah itu?

***

Big Thanks to Monyetkertas

Share this :

Previous
Next Post »
1 Komentar
avatar

Ditunggu Chapter 3 nya yahh mas ^_^

Balas

Ayo Komentar!
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • © 2015 Teguh Budi Santoso ✔