Cinta Mangga Gedong Chapter 1 : Desember

Sabtu, Januari 31, 2015 7 Comments

Chapter 1 : Desember…. 

Aku terpaku tak percaya membaca sms dari Dian. Dian sedang tidak bercanda, kan? Sumpah! Ini sama sekali tidak lucu. Candaannya kali ini benar-benar tidak lucu. Tidak seperti gaya bercandanya yang biasa. Bukan selarik senyum yang tertoreh di wajahku seperti saat aku membaca joke-jokenya melalui sms di hari yang lain yang membuatku semangat. Melainkan rasa tak percaya, kecewa dan takut. Takut kalau Dian memang tak bercanda. Ah, aku masih belum siap kehilangannya.
“Kamu bener jadian sama Wahyu?” Ku ketik sms balasan untuk memastikan rasa tak percayaku. Untuk memastikan kalau Dian sedang tidak bercanda. Satu detik dua detik tiga detik. Belum ada balasan dari Dian. Apakah Dian sedang mempermainkan emosiku. Dian, kamu tahu, ini sangat tidak lucu.
Waktu seakan melambat. Aku tak pernah merasakan cemas, gelisah dan takut seperti ini. Menunggu sms dari Dian tak pernah semenegangkan ini. Aku mulai kacau. Ku tatap layar ponselku dengan seksama. Aku sedang dalam posisi siap. Siap untuk segera membuka sms yang masuk.
Sudah 15 menit berlalu tetapi tak kunjung ada balasan dari Dian. Dian, sedang apa kamu? Tega sekali kamu membuatku begini. Aku mulai kacau. Kalut. Berjalan mondar-mandir. Kubanting ponselku ke kasur. Ku acak-acak rambutku yang mulai gondrong ini.
Aku duduk di kasur. Ku letakkan kedua tanganku di kening. Sesaat kemudian aku mendapatkan ide. Aku harus meneleponnya. Kalau benar ini hanya sebuah candaan, tak apalah aku kalah. Biar Dian merayakan kemenangannya malam ini.
Ku raih ponsel selulerku yang tergeletak tak berdaya di atas kasur. Aku berniat menelepon Dian. Namun sebelum niat itu terlaksana sebuah sms masuk.
“Iya, Dian sudah jadian. Bahkan Mas Wahyu sudah ada rencana mau melamar Dian.”
JEDEEEERRR! Bagai disambar petir aku membacanya. Berkali-kali kubaca isi sms itu, barang kali salah baca. Ternyata aku memang tidak salah membaca. Seperti itu adanya isi sms dari Dian.
Tega sekali kamu Dian. Bukankah kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu. Betapa aku menaruh harapan yang sangat tinggi padamu. Secepat itu kamu menerima orang lain. Secepat itu kamu siap menerima pinangan orang lain. Lalu kamu anggap aku apa?
“Ran, kamu emang sahabat terbaikku.” kata Dian yang duduk di boncengan sepedaku dengan manja. Ia merangkulkan tangannya ke pinggangku.
“Sahabat?” tanyaku dengan tersengal-sengal. Meski kecil ternyata Dian berat juga. “Aku sudah capek-capek boncengin kamu yang berat banget kayak gajah ini tapi cuma dianggap sahabat. Hah?”
“Ih.. jahat banget. Dian itu ga berat tahu.”
Dian mencubit perutku. Kenapa perempuan hobi sekali mencubit? Ada yang tahu?
“Salah sendiri. Tadi kan Dian sudah bilang pake motor Ayah saja. Lah, kamu ngotot pake sepeda. Kalau Dian sudah punya cowok juga ga bakalan ngerepotin lagi minta dianter.”
Hey… Apa kamu tidak menyimak perkataanku sebelumnya. Kau malah berharap mempunyai pacar. Memangnya tidak tampak perhatianku selama ini untukmu.
“Mana ada cowok yang mau sama cewek kurus mungil tapi makannya banyak kayak kamu?”. Aku menggoda Dian. Tapi beneran, berat Dian tidak berbanding lurus dengan penampakan fisiknya yang kecil mungil.
“Ada.” jawab Dian cepat.
“Siapa?” tantangku.
“Kamu.” jawab Dian dengan sangat mantap dan percaya diri.
Sejenak aku merasa ada letupan-letupan bahagia di dalam hatiku. Tapi aku tidak mau ge-er.
“Lah, siapa bilang aku mau jadi pacarmu? Katanya aku ini sahabat terbaikmu.” Pancingku.
“Oh… jadi kamu cuma mau jadi sahabatku. Ya sudah kalau itu maumu.” jawab Dian ketus.
Eh… Dian ini maunya apa. Tadi dia menganggapku sahabat terbaiknya lalu dia seakan mengharap aku menjadi pacarnya. Yang bener yang mana sih. Perempuan memang susah dipahami.
Aku menghentikan sepedaku tepat di depan gerbang SMA tempat Dian menuntut ilmu. SMA favorit di kecamatan kami. Sedangkan aku bersekolah di SMK favorit di kecamatan kami juga. Hari ini minggu, tetapi Dian bilang ada ekstrakurikuler apalah yang mewajibkan dia datang ke sekolah di minggu siang seperti ini.
Keringat menetes di dahiku. Tanpa kusadari Dian telah mengambil sapu tangannya dan mengelap keringat yang menghiasi dahiku. Aku menatap wajahnya yang berjarak beberapa jengkal. Ah, sudah berapa lama aku menaruh hati dengan gadis yang saat ini berdiri di hadapanku yang tengah mengelap keringat di dahiku. Aku sendiri sudah lupa sejak kapan tepatnya. Cinta ini tumbuh pelan-pelan tanpa pernah kusadari kapan bermulanya.
Dian, teman mainku sejak sd. Kini kami sama-sama sudah mengenakan putih abu-abu. Salahkah bila kami mengubah rasa sayang sebagai sahabat menjadi rasa sayang sebagai sepasang kekasih? Aku rasa tidak ada salahnya. Tetapi Dian tak pernah menganggapku lebih dari sekedar sahabat terbaiknya. Atau hanya aku yang berpendapat seperti itu.
“Terima kasih, Ran. Sudah mau jauh-jauh anterin Dian ke sekolah. Jangan lupa ya, nanti sore jam 5 jemput Dian lagi, hehe.”
Aku tersenyum senang. Yah, tak apalah untuk saat ini kita tetap sebagai sahabat. Di waktu yang tepat, aku akan memintamu menjadi milikku.
Dian berlari ke arah gerbang sekolah. Rambutnya bergerak-gerak indah. Dian berhenti tepat di gerbang. Lalu ia menoleh ke arahku dan melambaikan tangan. Tak lupa ia menyunggingkan senyuman termanisnya.
Aku kayuh sepedaku pulang.
Di gerbang sekolah Dian menatapku.
“Ran, sampai kapan Dian harus menunggumu?” bisik Dian pelan.
Dian masuk ke dalam sekolahnya setelah aku tak nampak dari pandangannya.

***

Sampai pada akhirnya kami lulus sekolah, aku masih belum sempat mengutarakan cinta. Aku tak mempunyai cukup keberanian untuk itu. Aku takut Dian akan menolakku. Aku takut hubungan yang selama ini terjalin dengan baik dan indah akan berubah saat kami berstatus sebagai sepasang kekasih. Aku takut akan melukai Dian nantinya. Aku memang terlalu pengecut.
Setelah lulus aku diterima bekerja di salah satu perusahaan manufacturing di Karawang. Berangkatlah aku ke Karawang tanpa pernah mengucapkan kata-kata sakti itu. Dan sekarang 3 tahun telah berlalu. Aku sudah 2 kali pindah perusahaan karena masa kontrak kerja yang selesai. Selama itu aku masih berhubungan dengan Dian melalui sms, telepon ataupun media sosial.
Lalu hari ini, ketika Desember ada di tengah, sms itu tiba. Langit Karawang masih setia memuntahkan hujan. Mungkin langit malam ini ikut turut merayakan kesedihanku. Langit seakan menangis tak mau henti.
Tanpa berpikir panjang aku menelepon Dian.
“Hallo, Ran…,” sapa Dian lembut dari seberang sana. Entah kenapa suara Dian yang kudengar seakan melodi yang menyayat jantungku. Dada ini sesak. Dada ini sakit mendengar suaranya malam ini. Mungkin aku terlalu lebai malam ini.
“An… apa kamu tidak mau mempertimbangkan lagi?” aku langsung menjawabnya tanpa perlu basa basi lagi. Aku langsung ke pokok permasalahan. Aku ingin malam ini selesai.
“Dian sudah mempertimbangkannya berkali-kali. Mas Wahyu orangnya baik. Tampan. Dia sangat cinta dan menyayangi Dian. Mas Wahyu orangnya berani dan mempunyai sikap. Jadi tidak ada alasan buat Dian menolaknya.”
“Bukan itu An…,” air mata mulai merembes turun dari mataku yang sedari tadi berkaca-kaca “Apa kamu tidak mempertimbangkan perasaanku, An? Apa kamu pura-pura buta. Pura-pura tuli? ”
“Perasaan apa Ran? Dian bukan peramal yang bisa membaca perasaan orang.”
Aku tahu kamu berbohong. Kamu hanya ingin memancing emosiku.
“Memang.. aku tidak pernah mengatakannya secara langsung tetapi kamu tahu. Aku sangat yakin kamu tahu”
“Tahu saja tidak cukup. Dian lelah menunggu. Dian ingin kepastian. Dian juga ingin seperti perempuan lain mendengarkan orang yang Dian cinta mengatakan cinta. Tetapi bertahun berlalu kamu tidak juga mengatakannya, Ran. Dian lelah menunggu. Cinta bukan hanya untuk dipendam dan dirasakan sendiri. Kalau cinta itu ngomong. Jangan diam saja, Ran. Dian selalu menunggu keberanianmu. Sampai beberapa hari yang lalu, Dian masih setia menunggumu. Tapi nampaknya kamu terlalu pengecut.”
“Apa cinta harus selalu diungkapkan? Apa perhatianku tidak cukup menggambarkan rasa sayangku padamu, An?”
“Setidaknya biarkan Dian tahu apa yang ada di hatimu melalui kata-kata” suara Dian terisak. Sepertinya dia menangis.
“Baiklah kalau itu maumu. Aku sangat sayang dan mencintaimu. Aku menaruh harapan yang tinggi untuk kita berdua. Aku ingin menghabiskan hari-hariku bersamamu. Aku tak mau kita terpisah seperti ini. Aku ingin kita selalu bersama. Karena.. aku sangat mencintaimu, An. Tidak ada yang lain selain kamu, An. Aku tak tahu jika aku harus hidup tanpa ada kamu lagi.”
“Terlambat. Untuk apa kamu mengatakannya sekarang?” Ucap Dian dingin.
“An, kembalilah padaku” rengekku dengan suara terisak.
“Sudah tidak ada jalan untuk kembali. Dian sudah menemukan jalan yang baru. Jalan bersama Mas Wahyu menuju surga impian kami.”
“An, ini belum terlambat…”
“Jadi kamu mau Dian mengingkari janji? Kamu berharap Mas Wahyu akan mengerti? Dian bukan orang seperti itu. Kamu jahat menyuruh Dian menjadi orang yang seperti itu. Hidup bukan seperti di film-film, Ran.”
“Tapi apa kamu mencintainya? Kamu hanya menipu dirimu sendiri. Kamu juga menipu Mas Wahyu. Kamu jahat An, bukan hanya aku yang kamu sakiti, tetapi mas wahyu dan diri kamu sendiri.”
“Iya, Dian jahat” Sesenggukan Dian bertambah “Dian jahat karena menunggu terlalu lama. Dian jahat karena terlalu lama memendam asa. Dian jahat karena hanya berjuang sendiri.”
“Maafkan aku…”
Aku tak tega mendengar Dian menangis. Tuhan, aku yang jahat telah berkata seperti itu. Bukan kamu yang jahat, Dian. Maafkan aku.
“Salah bila Dian membuka diri untuk yang lain? Memang saat ini Dian belum sepenuhnya mencintai Mas Wahyu, tetapi benih cinta itu sudah mulai ada. Seiring berjalan waktu, Dian yakin akan mampu menumbuhkan bibit cinta itu dan saat itu tumbuh, Dian akan merawatnya sepenuh hati.” Dian berkata mantap.
“Lalu bagaimana dengan aku?”
“Kamu tetap sahabat Dian yang terbaik. Tidak akan ada yang bisa mengubah ini.”
“Tapi…aku sangat.. berharap padamu… aku sangat…”
“Lupakan Dian,” potong Dian. “Dian mohon… kamu bisa mendapatkan yang lebih baik. Seseorang yang dengannya kamu akan menjadi lelaki yang berani. Dian yakin, saat itu akan tiba.”
Tuut tuut tuut.
Dian memutuskan panggilan dariku.
Dian kamu tega. Kamu tak memberiku kesempatan sama sekali. Memang benarlah kata sahabatku, penjelasan tidak selamanya membuat jelas. Terkadang malah memperburuk keadaan.
Luka ini tertoreh dalam hanya dalam waktu semalam. Aku tidak bisa menahan ini sendiri. Aku membutuhkan seseorang untuk membagi sesak ini. Aku menelepon mbakku. Kurang ajar sekali aku malam ini. Setelah membuat orang yang aku cintai menangis, aku menelepon seseorang yang dalam masa pengantin baru hanya untuk mendengarkan curhatan seorang pengecut sepertiku.
Aku ingin sekali pulang. Tetapi mbakku dan suaminya melarangnya. Mereka menasehatiku. Mereka memberi masukkan yang berarti. Mereka sedikit mengurangi sesak ini.
Hujan masih setia menemani desember malam ini. Hingga pagi menjelang aku masih terjaga. Dengan mata sembab dan basah.
Desember… kenapa kamu begitu basah?

***