Facebook

Minggu, Juni 14, 2015 Add Comment

Sial!
Berkali-kali kutekan tombol f5 di halaman profil facebookmu. Namun tidak ada pembaharuan darimu. Padahal kamu sedang online. Aku memang sudah hafal kapan jadwalmu membuka facebook. Aku sudah menguntitmu lama, yah aku malu untuk mengakuinya tapi itu kenyataannya.
Arghhh... tidak adakah sesuatu yang ingin kamu bagi untuk teman-teman facebookmu. Aku jadi semakin bertambah penasaran. Sebenarnya apa yang kamu lakukan setelah sign in facebook. Apakah kamu sekedar membaca status-status yang memenuhi berandamu?. Tidakkah kamu membaca status-status dariku?. Tidakkah kamu membaca kode-kode yang aku tebar di setiap statusku?. Apakah kamu terlalu bodoh untuk membaca, menemukan dan menerjemahkan sebuah kode?.
Arghhh... kurasa bukan sebuah lagi. Sudah sangat banyak sekali kode yang telah kuberikan. Apa aku yang bodoh karena membuat kode yang tidak terbaca. Atau malah kamu menyembunyikan semua kiriman dari akun facebookku. Kalau iya, kamu sungguh kejam. Atau mungkinkah kamu sedang berhahahihi dengan kekasihmu. Argggh.... tidaaaakk! Aku bisa gila hanya dengan membayangkannya.

Bangke!
Bulatan hijau di sebelah namamu membuatku gila. Ingin sekali menyapamu. Tapi apa yang harus aku katakan. Masa iya hai lagi hai lagi. Bodoh sekali. Sungguh ingin sekali berbincang denganmu untuk sekedar menghilangkan sedikit rasa kangenku padamu. Iya aku kangen kamu.
Hah, kamu tidak tahu itu?
Iya aku tahu mana mungkin kamu tahu jadi sekarang aku beritahu. Aku sangat kangen kamu. Tak melihatmu sebentar saja membuatku gila seperti ini.

Bajingan!
Tiap hari kangenku semakin besar. Membuka facebook semakin candu bagiku. Aku hanya ingin sekedar tahu kabarmu. Lama-lama aku bisa gila. Sempet beberapa kali aku menonaktifkan akunku. Tetapi ternyata itu adalah keputusan yang salah. Dengan cara apalagi aku mengetahui kabarmu kalau akun facebookku nonaktif. Bagaimana jika nanti kamu memperbaharui status?. Setidaknya aku bisa menekan like untuk statusmu. Bagaimana kalau kamu mengubah foto profilmu?. Foto terbaru darimu. Aku tidak bisa lagi klik kanan simpan gambar. Arghhh... akhirnya selalu begini. Aku mengaktifkan lagi akun facebookku.

Kampret!
Berkali-kali kutekan tombol f5 di halaman profil facebookmu. Hasilnya masih sama.
Arghhh... aku harus bagaimana? Inikah nasib pengagum rahasia yang pengecut ini.

Bangsat!
AKU GILA!!!

***
Note : Selamat aja buat yang sedang seperti diatas :D 
Selamat menderita, selamat membuang waktu percuma hahahaha

Saya dan Lift

Sabtu, Mei 30, 2015 2 Comments

Apa kabar semua? Apa kabar blog ini? Hehehe... sudah lama sekali saya tidak memperbaharui entri blog ini. Maaf untuk yang telah membaca CMG dan menunggu kelanjutannya. Pasti akan saya lanjutkan. Jadi ngapain aja selama ini? Tenang saja, saya masih baik-baik saja (yakali ada yang nanya, pede banget yak :p).
Yah, saya masih baik-baik saja. Saya masih anak pesantren. Pengangguran Santai dan Keren. Tak terasa sudah mau setahun saya menganggur setelah wisuda :( . Untuk 6 bulan pertama, saya masih ada kegiatan-kegiatan yang menghasilkan receh. Dan sisanya hanya mondar mandir menguras dompet.
Saya mengikuti tes kesana kesini, kirim lamaran kesana kesini. Namun sampai sekarang belum ada hasil. Hasil yang sangat jelas adalah duit saya ludes buat ongkos transportasi kesana kesini, kirim surat lamaran.
Banyak banget pengalaman saya mengikuti tes yang ingin saya ceritakan. Nanti deh saya ceritakan. Pokoknya ada salah satu perusahaan yang sangat keren. Saya ingin sekali bekerja disana tetapi saya gagal interview user. Lalu saya interview user untuk staff marketing di salah satu perusahaan. Dan lagi-lagi saya gagal padahal ini adalah tahap akhir dari serangkaian tes. Huft. Mana interview usernya bikin saya pusing. Pertanyaannya di luar logika saya. Atau saya memang terlalu bodoh.
Baru-baru ini saya ikut tes di Jakarta. Yang saya ingin ceritakan bukan tentang tesnya. Yang saya ingin ceritakan adalah LIFT. Yah lift. Karena tempat saya tes ada di lantai 9 otomatis saya harus menggunakan lift. Bukan masalah saya tidak tahu cara menggunakan lift. Memang sih saya tidak tahu caranya. Katro banget ya. Hahaha. Tapi yang membuat saya males untuk menggunakan lift adalah saya merasa mual. Yah saya mabok naik lift, untung tidak sampai muntah.
Sebelumnya saya sudah pernah naik lift ketika mengunjungi teman yang sedang dirawat di rumah sakit. Saat itu hanya lantai 2 tapi saya sudah merasa pusing dan mual ingin muntah. Lalu bagaimana nasib saya ketika harus menggunakan lift sampai lantai 9. Hadeuh beneran pusing dan mau muntah. Untung tidak muntah. Mau ditaruh dimana muka saya yang katro ini.
Saya tidak masalah (tidak merasakan mual dan pusing) ketika liftnya berjalan naik atau turun. Saya bermasalah ketika liftnya akan berhenti di lantai tertentu. Baru pusing dan mualnya menyerang.
Duh katronya saya.
Adakah yang mempunyai nasib sama seperti saya mabok naik lift?

Cinta Mangga Gedong Chapter 4 : Hujan

Jumat, Maret 06, 2015 4 Comments

Chapter 4
Hujan

Cinta adalah kehilangan. Kalimat itu yang meluncur dari bibir Nana. Awalnya aku sulit mencerna maksud dari kalimat tersebut sampai aku pada kondisi aku sadar bahwa aku hanyalah raga kosong tanpa Dian. Harusnya aku sadar bahwa saat aku membiarkan benih cinta ini tumbuh saat itu pula aku harus menyiapkan diri untuk kehilangan Dian.
Aku tahu cerita ini akan berbeda andai saja aku memiliki sedikit keberanian. Namun aku terlalu pengecut. Aku terlalu penakut untuk menghadapi sesuatu yang belum tentu akan terjadi. Sekarang semua sudah terlambat. Dian sudah menerima orang lain sebagai kekasihnya.
Sebenarnya hal ini bukanlah yang pertama kalinya. Dian sudah pernah mempunyai pacar sebelumnya. Tetapi saat itu perasaanku biasa saja. Tidak seperti sekarang ini. Saat itu Dian berpacaran dengan temanku. Aku tidak merasakan perasaan cemburu atau marah. Karena aku tahu saat itu Dian hanya main-main. Dian hanya ingin menunjukkan kepadaku kalau dia juga bisa punya pacar. Dian ingin mematahkan tuduhanku yang suka meledek dia tidak akan mendapatkan pacar. Pada akhirnya dugaanku benar, selang beberapa minggu Dian putus dengan pacarnya. Aku sangat bersorak bahagia saat itu meski aku tidak pernah merasakan cemburu. Atau sebenarnya ada sedikit cemburu yang tidak aku sadari. Entahlah.
Cinta adalah penerimaan. Lagi. Kata-kata Nana melecutku. Dia membuatku sadar untuk bangkit dari keterpurukan patah hati. Ikhlas. Ikhlas adalah kuncinya. Kata Mbak Ria dan suaminya. Aku harus menerima dengan ikhlas. Apapun yang akan aku perbuat tidak akan memutar kembali waktu. Tidak akan ada keajaiban untuk seorang pengecut sepertiku.
Aku telah memutuskan untuk melangkah memulai membuka lembaran baru. Aku tahu tidak akan mudah. Aku akan berusaha. Teorinya demikian. Namun pada prakteknya aku sangat kewalahan. Aku sangat kesulitan. Semakin aku mencoba melupakan, semakin banyak pula kenangan-kenangan yang timbul ke permukaan.
Aku bisa gila!
Januari, bulan dimana hujan turun hampir setiap hari. Ini yang tidak aku suka. Hujan memberi cukup banyak kontribusi dalam membuatku sulit melupakan Dian. Karena hujan tanah menjadi basah. Kenangan-kenangan yang aku kubur malah menjelma tumbuh menjadi pohon kenangan. Tiap kali kupangkas dahan-dahannya agar tidak menjadi rindang, dengan segera dahan yang lain akan tumbuh menggantikannya. Bukan hanya satu tetapi banyak. Dalam sekejap pohon kenangan itu telah menjadi pohon yang besar dan rindang.
Aku menatap keluar jendela dari dalam bus karyawan dalam perjalanan pulang. Kacanya basah dan mengembun karena hujan lebat yang mengguyur sejak shubuh tadi membuat pemandangan di luar menjadi kabur. Namun apa peduliku. Toh aku tidak sedang benar-benar melihat keluar. Pikiranku jauh berkelana menyelami masa lalu. Semakin dalam. Dalam. Sampai aku tak sadar kalau aku sudah tenggelam.

***

Aku mengayuh sepedaku semakin kencang. Awan mendung yang sedari tadi menggantung telah turun menjadi butiran-butiran gerimis. Awalnya kecil-kecil lalu kemudian menjadi besar-besar. Rasanya-rasanya kepalaku seperti dihantaman ribuan jarum. Sakit.
“Tenangnya…” Dian berguman ketika aroma tanah bercampur air hujan menyeruak masuk ke dalam lubang hidungnya. Aku mengernyitkan dahi tak mengerti. Kehujanan dan dia bilang tenang. Apa yang ada dipikiran gadis yang duduk di boncengan itu?
“Ran, coba kamu hirup aroma hujan ini. Sungguh menenangkan, bukan?”
“Aroma hujan apa? Maksudmu bau debu campur hujan ini? Mana mungkin bisa menenangkan.” jawabku asal-asalan.
“Ih, dasar, makanya punya hidung jangan buat mengendus bau kaki saja.”
Dian sebal dengan jawabanku yang asal-asalan itu.
“Kita berteduh saja di emperan toko depan itu saja sambil menunggu hujan reda.” tawarku pada Dian. Aku takut karena hujan-hujanan dia jadi sakit.
“Ga usah, Ran. Kita jalan saja. Ini kan hujan pertama. Dian ingin hujan-hujanan.”
“Kalau kamu sakit aku tidak mau bertanggung jawab.”
“Siapa juga yang minta tanggung jawab. Sudah jalan saja terus tidak usah berteduh, ya, ya.” Dian memutuskan seenaknya sendiri.
“Kamu tidak malu, kita memakai seragam putih abu-abu tapi masih hujan-hujanan kayak anak kecil?”
“Tidak apa-apa Ran, sesekali kembali bertingkah menjadi anak kecil.”
Akhirnya aku menuruti kemauan Dian. Aku terus mengayuh sepedaku. Butiran gerimis yang tadi besar-besar dan membuat kepalaku sakit kini sudah berubah menjadi hujan deras. Aku yakin saat ini Dian sedang tersenyum bahagia menikmati hujan yang turun pertama kali ini. Hujan yang sebagai tanda berakhirnya musim yang kering dan berganti dengan musim yang basah.
Aku mengayuh sepedaku dengan Dian yang membonceng di belakang menembus hujan. Tangan mungil Dian mendekap pinggangku erat. Dingin udara dan basahnya hujan membuat Dian semakin erat mendekap pinggangku. Hangat. Aku merasakan kehangatan di tengah kedinginan hujan ini. Aroma hujan yang dimaksud Dian akhirnya menyeruak masuk ke dalam hidungku. Ya, aroma ini sangat menenangkan.
Saat ini yang aku inginkan adalah perjalanan pulang sekolah tak segera berakhir. Jadi aku memilih memutar jalan pulang. Aku ingin menikmati hujan ini bersama Dian. Aku memperlambat kayuhan. Aku tidak mempedulikan lagi bahwa bisa saja dari kami akan jatuh sakit.
“Ran berhenti sebentar.” Pinta Dian.
Aku menurutinya tanpa tahu apa yang ada di benak Dian. Begitu aku menghentikan sepedaku Dian langsung turun dari boncengan sepeda dan berlari ke pematang sawah. Dian berlari dengan riang. Dian berhenti di tengah persawahan. Ia angkat kedua tangan dan wajahnya. Dian benar-benar menikmati hujan. Aku hanya terperangah melihat kelakuannya itu. Sungguh saat itu Dian begitu sangat mempesona.
Setelah beberapa saat tertegun mengagumi Dian aku tersadar. Benar. Tidak ada salahnya sesekali kembali bertingkah seperti anak kecil. Aku jatuhkan sepedaku dan mengejar Dian. Berlari di pematang sawah. Kami saling berkejaran bermandikan hujan. Tak mempedulikan sepatu kami yang penuh dengan tanah. Tak peduli buku-buku kami yang mungkin sudah basah di dalam tas. Tak peduli sepeda yang aku jatuhkan pasrah di pinggir jalan. Tak peduli dengan tubuh yang mulai menggigil. Kami benar-benar seperti anak kecil yang menyambut hujan dengan suka cita.
Kami duduk sebentar di gubug yang ada di persawahan itu setelah puas berkejar-kejaran sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang. Dalam waktu yang sebentar itu aku terus saja menatap ke arah Dian yang sedang asyik menyaksikan air hujan yang jatuh menimpa daun-daun padi. Dian begitu khidmat tanpa menyadari aku tak berkedip sedikitpun menatapnya.
“Jangan sakit ya, Dian.” pintaku dalam hati ketika melihatnya masuk ke dalam rumah.

***

Lamunanku buyar ketika seorang teman menyikut perutku memberi tanda aku telah sampai. Bus karyawan yang aku naiki berhenti di perempatan Teluk Jambe. Aku segera turun dan bergegas lari masuk ke dalam angkot untuk menghindari hujan. Biasanya jika tidak hujan aku jalan kaki karena jarak kosanku tidak begitu jauh dari perempatan teluk jambe. Hitung-hitung olahraga. Aku tidak selalu menggunakan bus, lebih sering menggunakan motor untuk berangkat kerja. Tetapi dikarenakan sekarang adalah musim hujan mau tidak mau aku lebih memilih menggunakan bus.
Hujan tinggal menyisakan gerimis. Aku berjalan setengah berlari menuju kosanku. Aku berhenti sebentar untuk mengisi pulsa di counter milik ibu kos. Niatnya ingin beli pulsa malah dapat bonus rambutan satu ikat. Dengan malu-malu aku menerimanya dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Lumayan buat cemilan. Mudah-mudahan rambutan dari ibu kos ini bisa menjadi teman mengusir galau.
Aku membuka pintu kamar kosku. Menaruh rambutan di atas lemari lalu mengganti baju dan mencuci muka dan bersiap untuk tidur. Kantuk setelah bekerja semalaman sudah tidak tertahan lagi. Semoga aku tidak memimpikan Dian.

***

Cinta Mangga Gedong Chapter 3 : Melepasmu

Senin, Februari 23, 2015 3 Comments

Chapter 3
Melepasmu


Hari ke-enam libur natal dan tahun baru. Besok aku harus kembali lagi ke Karawang untuk kembali menjalani rutinitas harianku sebagai buruh di salah satu perusahaan otomotif. Liburan kali ini adalah liburan tersuram yang aku lalui. Ya, ini salahku sendiri karena terlalu membenamkan diri pada keterpurukan ini.
Aku harus bisa seperti Nana. Dia seorang wanita namun dia mampu. Aku penasaran berapa banyak airmata yang telah ia habiskan sehingga ia bisa sampai pada titik sekarang ini. Mampu tersenyum, tertawa dan membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sungguh Nana adalah wanita yang kuat.

***

Kuhabiskan hari terakhirku di sini dengan menikmati senja di Pantai Widuri. Pantai kebanggaan kota kami. Pantai Widuri, pantai yang menjadi saksi kesetiaan seorang istri terhadap suaminya. Konon sepasang kekasih yang memadu janji di Pantai Widuri akan menjadi pasangan yang setia sampai tua.
Dulu aku dan Dian sering menghabiskan waktu berdua di sini. Bercengkrama dan membicarakan apa saja yang terlintas di pikiran kami. Mengingat lagi saat-saat itu jari telunjukku terasa nyeri. Ada satu kebiasaan Dian yang aneh, Dian suka sekali menggigiti jari telunjukku. Meski aneh namun aku sangat menyukai kebiasannya itu. Gigitan-gigitan kecilnya memberikan sensasi tersendiri bagiku. Terlalu banyak kenangan indah bersamamu, Dian. Sanggupkah aku melupakanmu?
Kuedarkan pandangan ke bibir pantai. Kupandangi deburan ombak yang menyapu pasir dengan lembut dari kursi angkringan ini. Sepiring mendoan dan segelas teh manis yang menemaniku mulai dingin.
Bak tersengat listrik, bulu kuduk dan rambutku berdiri ketika ada suara lembut memanggil namaku.
“Ran…”
Aku menoleh.
Aku mengenal dengan sangat baik siapa yang memanggil dan membuyarkan lamunanku itu. Tanpa pernah kusadari kedatangannya Dian telah duduk tepat di sampingku.
“Sejak kapan kamu disini?” tanyaku tanpa memandangnya.
“Sejak tadi.”
“Darimana kamu tahu aku disini?” tanyaku kembali.
“Dari Mbak Ria. Tadi Dian ke rumahmu karena tahu kamu pulang. Tapi Mbak Ria bilang kamu ada disini” Aku hanya mengangguk untuk menanggapi jawabannya.
“Waktu itu kenapa kamu tidak menyapa Dian?”
Aku tersentak akan pertanyaannya. Ya, mungkin memang salahku waktu aku tiba di kota ini tak menyapa Dian saat perjalanan pulang ke rumah. Aku terus saja melajukan motorku dan berpura-pura tak melihat saat berpapasan dengannya, kuharap dia tak mengenaliku saat itu. Namun, ternyata sia-sia, dia tetap bisa mengenaliku.
“Dimana?” aku berkelit.
“Ah, sudahlah, itu tidak penting lagi,” Dian tahu aku berbohong dan tidak ingin memperpanjang masalah tersebut. “Dian hanya ingin memberitahu sesuatu. Kuharap kamu bisa mengerti, Ran. Seiring berjalannya waktu kamu pasti bisa melupakan Dian. Kita masih bisa menjadi teman seperti dulu.”
“Tak mungkin, An..” sanggahku.
“Apanya yang tak mungkin? Kamu belum mencoba, Ran.”
“Apa kamu bisa jika kamu ada di posisiku sekarang?” bantahku dengan nada yang sedikit tinggi.
Dian terdiam. Dia menundukkan kepalanya. Kulihat air mata hampir menetes dari matanya. Oh, Tuhan. Bukan maksudku ingin melukai orang yang kucintai ini.
Dan kami terdiam.
Sudah 5 menit kami berada dalam keheningan. Kuberanikan diri untuk bicara lagi.
“Dulu, kamu bilang kamu akan mengejar mimpi-mimpimu. Menyelesaikan kuliah. Mendapatkan pekerjaan yang kamu impikan. Bahkan,kamu memintaku untuk kuliah agar pendidikan kita setara. Kamu bilang tak akan menikah sebelum impianmu terwujud. Jujur, aku sangat senang sekali saat mendengarnya. Itu artinya masih ada banyak waktu untukku menyiapkan diri untuk menjadi lelaki yang terbaik bagimu. Tapi, semua keyakinanku runtuh hanya dalam hitungan menit.”
Aku menghela nafas dalam.
Dian terus saja menunduk. Mungkin dia mencoba menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Atau dia tidak mampu untuk menatapku. Entahlah.
“Lalu sekarang kamu datang dan memintaku untuk melakukan hal yang sangat sulit untuk kulakukan” lanjutku.
“Lalu mau kamu apa, Ran?”
Dian mengangkat kepalanya, menatapku. Pipinya sudah basah karena air mata.
“Belum terlambat, Dian. Kita masih bisa mengubah keadaan ini.” pintaku.
“Ran, apa kamu lupa dengan apa yang Dian katakan malam itu?”
Aku terdiam. Mencoba menguasai diriku lagi.
“Ran, aku mohon...” Dian memelas.
“Pulanglah, An. Biarkan aku sendiri. Tak enak membiarkan Mas Wahyu menunggu terlalu lama disana.” sergahku.
Dari awal Dian datang aku tahu dia bersama Mas Wahyu. Dia duduk diatas motornya yang diparkir cukup jauh dari kami.
Dian bangkit dari duduknya. Ia menyeka matanya yang basah.
“Ran, Dian yakin kamu bisa melepaskan tanpa harus kehilangan Dian. Kita masih bisa menjadi teman seperti dulu.”
Hah! Melepaskan tanpa harus kehilangan. Bualan klasik!
Dian meninggalkanku lantas pergi bersama Mas Wahyu.
Pandanganku kembali menyapu pantai. Deburan ombak yang pelan masih setia menemui pasir di tepian pantai. Langit semakin menjingga. Senja telah usai.
Bersama malam yang menjelang, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku harus mulai merelakan. Aku harus mulai melangkah. Aku harus bisa.

***

Kucing Dalam Lipatan

Minggu, Februari 08, 2015 2 Comments

Kucing datang ke kandang bebek setelah membaca status bebek yang memenuhi beranda facebooknya. Kucing berniat mencegah bebek melakukan hal nekat. Bagaimanapun bebek adalah sahabat terbaiknya terlepas dari sifat alay yang dimiliki bebek.
Sudah hal biasa kucing mendapati beranda facebooknya penuh dengan status alay bebek dan ayam. Sudah menjadi rahasia umum kisah cinta ayam dan bebek yang sering putus nyambung. Bentar-bentar berantem update status, bentar-bentar baikan update status. Begitu terus setiap harinya selama hampir 3 tahun ini.
Kisah cinta bebek dan ayam adalah kisah cinta paling fenomenal di peternakan. Disamping kisah cinta terlarang mereka yang tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua ayam juga karena mereka terlalu menggembar-gemborkan hubungan mereka yang katanya setegar karang, yang katanya cinta sejati, yang katanya pasangan yang telah ditakdirkan Tuhan ke seluruh penjuru peternakan maupun di facebook. Nyatanya mereka hanya membuat geli seisi peternakan dan dunia maya saja. Marahan dikit langsung update status. Kangen dikit update status. Baikan update status. Terlihat sekali mereka sama-sama belum dewasa dalam menyikapi suatu hubungan.
Sudah bukan barang baru membaca status bebek sebagai bebek paling menderita di dunia. Namun kali ini berbeda. Bebek tidak pernah sebelumnya membuat status seperti itu. Mengakhiri hidup untuk cinta. Konyol sekali. Ini pasti masalahnya sudah serius. Bebek mungkin terlalu banyak mendapat tekanan. Bebek mungkin sudah mencapai titik putus asa. Itulah sebabnya kucing buru-buru pergi ke kandang bebek.
Untunglah hal buruk yang dikhawatirkan kucing belum terjadi. Dengan nafas tersengal-sengal kucing menghampiri bebek yang sedang duduk di pojokan kandang. Mata bebek terus saja menatap golok yang terselip dipagar.
“Kali ini apalagi?” Tanya kucing setelah berhasil mengatur nafasnya. Dia duduk tepat di samping bebek.
Bebek tetep diam bergeming. Matanya berkaca-kaca dan terus saja menatap golok. Dalam hati bebek masih ragu dengan keinginannya untuk bunuh diri.
“Bunuh diri bukan solusi. Iya elo mati enak. Ga ada yang elo khawatirkan lagi. Bagaimana dengan Ayam? Setelah elo mati, ayam akan dihantui rasa bersalah yang sangat dalam. Ayam akan jatuh ke lembah gelap penyesalan yang tidak berdasar. Disamping itu dia akan mendapatkan hukuman sosial. Seluruh peternakan pasti akan menyalahkan ayam. Bukan gue belain ayam. Sekarang gue tanya apa elo tega kalau orang yang elo cintai berakhir seperti itu?” Cerocos kucing panjang lebar.
“Jangan diam aja. Sebagai sahabat elo, gue gak mau elo kayak gini. Elo itu cowok. Yang kuat dong. Jangan cemen kayak gini.” Kucing lama-lama sewot juga dicuekin bebek.
“Cing,” bebek membuka suara setelah dari tadi hanya diam membisu.”Apa yang kurang dari gue? Gue sudah memberikan sepenuhnya yang terbaik buat dia. Tetapi dia malah mencampakkan gue tanpa sebab yang jelas. Gue ga tahu lagi apa yang harus gue perbuat agar dia mau kembali sama gue?”
“Bek, cinta itu tidak boleh memaksa. Mungkin ayam butuh waktu untuk sendiri. Biarkan dia berpikir jernih. Mungkin dia dalam kondisi emosi waktu memutuskan elo.”
“Cing, untuk apa gue hidup kalau ayam sudah mencampakkan gue. Gue hanya sampah.” Keluh bebek.
“Jangan berkata seperti itu. Pokoknya sekarang elu jauhi pikiran-pikiran buruk. Jangan nekat. Gue yakin besok pasti akan lebih baik dari hari ini.”
Bebek kembali menatap kosong ke arah golok yang terselip di pagar.
“Bek, gue pulang dulu, sudah mau maghrib. Tetap semangat. Tunjukkan kamu bebek yang kuat. Agar ayam bisa kembali lagi ke pelukanmu. Ok?”
Bebek tetap diam. Entah dia mendengarkan kucing atau tidak.
“Yaudah gue pulang dulu. Berpikirlah dengan jernih. Gue tahu lu butuh waktu sendiri, nasihat saat ini mungkin hanya masuk lewat kuping kanan, keluar lewat kuping kiri untuk elo. Gue dateng kesini cuma mau kasih tahu elo, kalau gue selalu ada untuk elo. Sekali lagi, jangan nekat!” Kucing memberikan pesan-pesan terakhir sebelum meninggalkan kandang bebek.
Kucing meninggalkan kandang bebek. Dia sengaja memutar arah pulang ke rumah pemilik peternakan agar melewati kandang ayam.
Ayam telah berdiri di depan kandangnya ketika kucing sampai di depan kandang ayam. Kucing menghampiri ayam.
“Bagaimana?” sambut ayam dengan tidak sabar.
“Ay, setelah abang pikir,” kucing diam sejenak. Ia tak yakin dengan apa yang akan ia sampaikan.” Abang minta kamu kembali ke bebek. Abang tidak tega melihat bebek seperti itu.”
Ayam kaget dengan kata-kata kucing.
“Abang gimana sih, abang kan yang meminta aku untuk mutusin bebek. Abang sudah tidak cinta lagi sama aku?”
Ayam sewot. Plin plan banget kucing. Pikir ayam. 
“Ay, abang memang mencintaimu, tapi abang juga sayang sama sahabat abang, abang tidak tega melihat dia menderita.”
“Lalu bagaimana dengan kebahagian aku. Bagaimana dengan kebahagian abang? Abang lebih suka melihat aku menderita bersama bebek?” Ayam tidak terima dengan alasan kucing.
“Bukan begitu, Ay. Abang bahagia jika kamu bahagia. Abang yakin kamu dan bebek akan bisa bahagia lagi seperti dulu. Sebelum abang datang diantara kalian.”
“Bang, aku bahagia bila bersama abang. Bebek hanya bagian dari masa lalu. Sekarang cuma abang yang aku cinta.”
“Ay, abang mohon. Kembalilah pada bebek…” Kucing terus memohon.
“Bang, kamu hanya mempermainkan aku.” Ayam merasa kucing hanya mempermainkan dia. Tidak pernah bersungguh-sungguh selama ini.
“Ay, jangan salah paham. Abang sangat-sangat mencintaimu.”
“Lalu kenapa, bang? Kenapa abang meminta aku kembali pada bebek?” Ayam tidak tahan lagi.
“Karena abang tidak tega melihat sahabat abang seperti itu. Jadi abang mohon pada kamu.”
“Baik… Aku akan melakukan apa mau abang. Aku akan kembali pada bebek, asalkan abang memenuhi satu permintaanku?”
“Apapun yang kamu inginkan akan abang penuhi. Abang janji.”
“Aku akan kembali ke bebek, asalkan abang masih tetap bersamaku.”
Kucing terdiam. Dia dihadapkan pada sebuah dilema. Menuruti perasaannya. Menjaga perasaan sahabatnya. Atau menjaga perasaan ayam yang ia cinta.

***